Pondok Pesantren Darussalam merupakan salah satu pesantren yang memiliki sejarah panjang di Sumenep. Mulanya sebuah langgar surau yang didirikan oleh Kiai Agung Kharru pada tahun 1901, pesantren ini telah melalui perjalanan yang menarik. Namun, perkembangannya semakin pesat dan mulai dikenal luas pada tahun 1961. Saat itu, Kiai Achmad Jazuli Thohiruddin bersama istrinya, Nyai Siti Maryam atau yang lebih dikenal sebagai Nyi Seppo, membuka Pondok Pesantren Darussalam beserta madrasah bersistem kelasikal. Mereka memulai inisiatif untuk mendirikan madrasah, membuka asrama putri, dan membentuk pusat-pusat pendidikan agama.
Setelah wafatnya Kiai Ahmad Jazuli, kepemimpinan Pondok Pesantren Darussalam dipegang oleh keturunannya, dan Nyi Seppo sendiri. Mereka meneruskan perjuangan dan pengabdian dalam mengembangkan pesantren ini. Sebagai pusat pendidikan Islam, Pondok Pesantren Darussalam terus menjalankan misi untuk mendidik dan membentuk generasi muda yang berakhlak mulia serta berwawasan luas.
Dalam beberapa tahun terakhir, Yayasan Darussalam dipimpin oleh cucu pertama Kiai Ahmad Jazuli, yaitu Kiai Badrus Shaleh atau yang lebih dikenal dengan nama Raedu Basha. Dengan kepemimpinan baru ini, pesantren terus berkomitmen untuk menjaga tradisi keilmuan dan mengembangkan sarana dan prasarana pendidikan yang lebih baik. Melalui berbagai program pendidikan dan kegiatan keagamaan, Pondok Pesantren Darussalam tetap menjadi tempat yang penting bagi para santri dalam menimba ilmu dan memperkuat imtaq dan iptek mereka.
Dengan sejarah yang kaya dan kepemimpinan yang berkelanjutan, Pondok Pesantren Darussalam terus berdiri sebagai lembaga pendidikan yang menghadapi tantangan zaman modern, pesantren ini terus beradaptasi dan berinovasi untuk menjaga relevansi dan memenuhi kebutuhan pendidikan agama yang berkualitas. Pesantren ini menjadi tempat bagi para santri untuk mengembangkan potensi diri dan menjadi generasi yang berkontribusi positif dalam masyarakat.
Darusalam
Bilapora Gending Sumenep
Dua kakak-beradik, Kyai M. Harrul dan Kyai M. Djalali bin Baridin bin Abdillah, pada tahun 1901 merintis berdirinya pesantren yang terletak 17 kilometer dari kota Sumenep, setelah keduanya nyantri di Pesantren Guluk-guluk Sumenep. Tak banyak catatan banyak ditangkap semasa kepemimpinan mereka. Yang jelas, pesantren itu kini diasuh kakak beradik Kyai U. Djazuli (49) dan Kyai M. Farid bin Tahirudin. Dikenal sebagai ahli tasawuf, Kyai Djazuli telah menulis kita berjudul Mursidul Qulub.
Kini santrinya berjumlah 185 orang, 100 putra dan 85 putri, 65 diantaranya mukim. Menempati area seluas 1 hektar beberapa sarana fisik telah ada antara lain 5 lokal belajar, 5 kamar pemondokan santri dan sarana olah raga. Sebelum nyantri, sekitar 65 santri berpendidikan Ibtidaiyah, dan selebihnya berpendidikan Tsanawiyah.
Ada tiga macam pendidikan madrasah yang diselenggarakan untuk melengkapi pengajian-pengajian kitab salaf yang diberikan secara sorogan dan weton, yaitu Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Tsanawiyah Diniyah. Pendidikan keterampilan yang diberikan, seperti pertukangan, pembuatan tahu serta pembuatan tegel, diarahkan agar bisa dikembangkan di masyarakat seusai mereka nyantri, agar mereka memperoleh manfaat. Kegiatan kepemudaan, kursus remaja dan kader desa serta penataran P4, merupakan kegiatan kemasyarakatan yang banyak melibatkan santri.
Secara lugas pengasuh pesantren berpendapat, hanya ketekunan dalam mengemban tugas pesantren dan membina masyarakat sebaik-baiknya. Maka pesantren akan berkembang dan memiliki arti besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Untuk kaderisasi penerus pesantren ini, pengasuh mempersiapkan beberapa tenaga pengganti.
